*

Menjadi pribadi yang "baik" perjalanannya tak "sebaik" yang dibayangkan,,, karena indahnya Allah yang aturkan. Alhamdulillah...

Rabu, 03 Juli 2013

Izinkan Aku Berbuat Sesuatu Untukmu (The End)



Aku ingin bertemu denganmu, Gara

Suasana malam minggu begitu gaduh di terminal. Hiruk pikuk pedagang asongan menambah suasana makin semrawut. Ah itu lumrah namanya juga terminal. Lain dengan kuburan hehe. Di terminal ini ada salah satu pemuda yang boleh dikatakan bader tapi berhati –sedikit- berbelas kasih. Hemm, kalo di bilang –banyak- jadi ilang predikat bader ala terminalnya, iya kan. Sebut saja pemuda itu –GARA–. Gara sedang berada tak jauh dari terminal bersama rekan-rekannya.


Malam itu Gara hampir menjadi korban razia preman. Hobi Gara memang kongkow bersama teman-temannya. Selain berprofesi sebagai pengamen jalanan ia juga hobi mengikuti balapan liar. Info dari sahabatnya Gading sesama pengamen mengatakan kalau beberapa hari terakhir banyak sekali razia preman alias sidak. Bagi yang tau berita itu akan waspada. Tapi berbeda dengan Gara meski sudah diperingatkan oleh teman-temannya tetap saja dirinya bandel. Tidak memperdulikan berita itu. Alhasil suatu malam tanpa sengaja dirinya tertangkap oleh beberapa petugas PATROLI. Karena banyak yang berada di lokasi. Beruntung saat itu hanya ada dua petugas yang mendekati dirinya. Tubuhnya yang tegap di bekuk oleh satu petugas. Sedangkan petugas yang satunya lagi membantu petugas yang tidak terlalu jauh dari tempat Gara. Dengan usaha dan tak tik Gara berhasil melarikan diri. Gara lari pontang-panting tak tentu arah. Ekor matanya sesekali menoleh ke belakang melihat beberapa petugas berusaha mengejar drinya untuk di tangkap kembali. Kakinya terus berlari. Tak menghiraukan apapun yang ada di depannya. Jarak dirinya dengan petugas sudah jauh tapi tetap bisa dijangkau dengan pandangan mata.
Di keremangan malam. Penglihatan matanya sedikit berbayang. Terlalu capek mungkin. Kakinya tersandung bertepatan dengan seorang gadis yang muncul di mulut gang bersama sepedanya.
“Brukkk. Aaaaaa” Gara terjungkal ke tanah. Terseok-seok menarik kakinya yang terantuk batu.
Gadis bersepeda itu berhenti. Membungkuk hati-hati mendekati sosok yang terjatuh.
“Gara…?” ucap Rana kala itu
“Hhhh Ran Ranah hhhh,”
Terlihat jelas di raut muka Rana sebuah kepanikan. Tapi dengan sigap Rana bertindak.
“Pergilah, cepaaaaaaaaattt. Gue bilang pergi buruaaaaannn! Ayolah Plisss” ucap Rana kala itu.
“Ran, uhuk tapi elo gimana? Elo sendiri di sini…”
“Gue bilang pergi Gara. Elo nggak usah hiro-in gue. Gue bakalan nggak kenapa-napa. Percaya ama gue, Plis sekali ini saja. Biarin gue nolong elo. Tolong elo buruan sembunyi, sebelum mereka datang,” Rana berusaha mengusir Gara dari tempat itu. Karena Rana melihat beberapa bayang yang bergerak cepat berlari mendekat dirinya. Rana berdoa semoga bayang-bayang itu tak melihat dirinya dan Gara.
Rana malam itu baru pulang kerja. Profesinya sebagai SPG dengan sistem kerja shifting. Kebetulan malam itu Rana sedang kebagian jatah sift siang.
Melihat raut wajah Rana tanpa pikir panjang dirinya pergi. Entah pergi ke mana. Karena Rana pun tak terlalu mempedulikan karena ekor matanya semakin jelas kalau derap-derap langkah kaki menuju ke tempatnya. Aman. Posisi Rana duduk di atas sepeda sambil perlahan mengayuh sepeda bergerak menuju ke rumahnya. Sesekali dirinya menoleh ke belakang. Rana tidak tahu kalau Gara memperhatikan dirinya dari kejauhan tepatnya dari balik tempat sampah.
Sssuuuuuutttttttt. Rana berhenti mendadak karena petugas memberhentikan dirinya. Rana berusaha tenang meski jantungnya tetap ber-dag-dig-dug kencang.
“Dek, liat orang lari ke sini nggak?” tanya petugas penuh selidik
“Waduh nggak tahu tuh Pak. Saya baru saja keluar dari gang ini.” ujar Rana tenang dan santai sambil menunjuk ke Gang sebelah kiri berlawanan dengan tempat persembunyian Gara.
“Wah payah kita kehilangan satu korban, gimana nih?” tanya petugas lainnya.
“Coba saya konfirmasi dengan markas,” kata petugas lainnya yang menjabat sebagai ketua
“Balik ke markas, sepertinya ada masalah di tempat semula,” ucapnya kemudian dan bergegas
“Oke Dek terima kasih atas infonya, silahkan dilanjutkan perjalanannya”
“Oke Pak, saya permisi mari semuaaaaaaaaaa,” ucap Rana santai.
Phuffhhh lega rasanya. Rana pun kembali bernyanyi-nyanyi kecil seperti semula ketika belum bertemu dengan Gara. Spontan dirinya teringat Gara. Ah Gara bagaimana kabarnya? Tanyanya dalam hati. Buru-buru dirinya mengayuh sepeda menuju rumahnya yang mulai dekat.
Rana memarkir sepedanya di samping rumah dan menguncinya. Setelah memastikan kondisi sepedanya aman terkunci dirinya masuk ke rumah. Tanpa ba-bi-bu tangan mungilnya men-dial beberapa nomer yang sudah di luar kepala. Tidak aktif. Dirinya mulai khawatir. Mencoba menghubungi beberapa teman-teman jalanannya. Gading pun sama tak aktif. Rana berpikir mungkin Gading tertangkap juga. Rana tidak tau kalau Gading sudah beberapa hari sakit dan tidak beroperasi memainkan gitarnya menjual suara di bis-bis atau metro mini yang setia mengangkut tubuh gembulnya kesana kemari.
Seminggu berlalu. Gara tak terdengar kabar beritanya. Rana merasa rindu dengan suasana renyah suara para anak jalanan. Saat ini teman yang tersisa hanya sedikit. Gading, Budi, Gundul, Badut, Geboy, Gepeng, Panjul, Pinokio, Bimbom. Banyak teman-temannya di tangkap. Rana tak bisa menjenguknya. Rana hanya diam meratapi nasib kawan jalanannya. Dan hanya seuntai doa tulus untuk mereka. Semoga teman-temannya menjadi orang yang berguna dan bermasyarakat.
Waktu terus berlalu terus beranjak tanpa mempedulikan hati Rana yang menanti kabar teman-temannya. Gading mengabarkan Gara tak ada di tempat penampungan. Gading dan Gepeng memberikan kabar padanya. Rana juga bersyukur karena teman-teman Gading yang lain kembali berkumpul. Panjul, Pinokio, Bimbom, Budi, Gundul, Badut, Geboy, Gepeng. Mereka di lepas karena mereka tak terbukti meng-konsumsi barang-barang terlarang. Plus mereka di beri kesempatan mencari rezeki dengan jalan bekerja. Entahlah kerja apa yang penting halal. Syukurlah. Namun, sampai saat ini Gara tetap tak terdengar kabar. Rana putus asa.
Roda waktu terus berputar. Menyembunyikan rindu di dada yang semakin membuncah di hati Rana. Kali ini bukan rindu biasa. Bukan rindu seorang teman. Ah bodohnya Rana pernah menolak cinta Gara. Tapi itu dia lakukan karena di ber-status pacar orang. Nah sekarang rasa kehilangan itu menyeruak dalam imajinasi dan jiwanya. Semuanya semakin menjadi ketika hubungannya dengan sang kekasih kandas.
Phufffffffhhh…
Rana teringat awal mula perkenalannya dengan Gara.
Saat itu Rana pulang kerja. Ban sepedanya kempes bertepatan di depan anak-anak malam. Asap rokok mengepul menusuk lubang hidung. Dengan takut namun Rana berusaha santai. Mengucap permisi pada segerombolan anak-anak tongkrongan.
“Heh, enak saja kamu asal saja lewat. Pajak-pajak,” ucap cowok berbadan tegap dan lumayan ganteng. Lalu dua temannya berdiri mendekati.
“Udah Gara, sikat saja,” ucapnya sambil tersenyum tanpa bisa ku mengerti
“Hahhahahahahahahahaha” semuanya kompak tertawa.
“Tenang aja Na, kita semua tahu diri kok. Kami selalu melihat kamu bersepeda. Dan kami juga tahu nama kamu Rana kan? Santai saja. Gue Gara dan ini sobat-sobat gue. Meski kami pengamen dan musisi jalanan. Kami bukan sembarang orang yang full berpredikat buruk. Kami kongkow di sini karena tempat inilah tempat yang paling aman untuk berbagi-bagi hasil suara kami tadi siang. Lihat saja tidak ada miras atau pun barang-barang aneh lainnya. Malah yang ada singkong goreng sama aci goreng,”
“He-eh iy… iyaa thanks deh kalo begitu. Hmmm iya aku Rana. Ya udeh sorry nih gue nggak bisa lama-lama. Ban sepeda gue kempes, gue mesti dorong dan lagi sudah malam, Duluan ya. Oh ya siapa nama kalian semua?”
“Gading, Gepeng, Panjul, Pinokio, Bimbom. Oke hati-hati Na, atau mau di anterin?” ucap Gading
“Oh nggak makasih deh. Tuh rumah gue udah deket. Kalo ada apa-apa aku tinggal teriak aja dan aku tunggu bantuan kalian OKE?!” ucap Rana sumringah sambil mengacungkan jempol tangan kanannya.
“Seeeeeeeeeeppp rembeeeeeeeeeeesss. Hati-hati”
Seminggu kemudian. Pertemuan itu masih berlanjut. Rana tak menyadari kalau teman-teman barunya itu sudah lama mengenal Rana. Suatu malam, di tempat yang sama Gara menyatakan cinta dalam candanya. Rana keget begitu juga Gara setelah melihat wajah pucat Rana. Salahkah?
“Ran, gue suka elo. Elo suka kan ama gue?”
“Gila loe Gara, emang elo mandang gue selama ini apaan?” ucap Rana menyembunyikan perasaannya. Karena dirinya ingin setia untuk Bryan kekasihnya yang kuliah di Bandung.
“Ya elah Ran, santai aja dunk ampe pucet gitu mukanya, nggak kok gue cuma bercanda. Gue lagi mau pedekate nih ama se-se-orang tapi bingung ngomongnya. Eh pas gue nyoba ke elo malah elo kayak mau pingsan, gimana kalau gue ngomong sama dia capedeh” ujarnya santai. Padahal Gara benar-benar menyatakan cintanya. Tapi Gara juga tau siapa Rana. Sosok gadis periang dan setia. Suple. Asyik untuk berteman. Mungkin lebih baik aku selalu disampingnya meski bukan sebagai pacar apalagi kekasih. Yaaaa, itung-itung sodara ketemu gede lah. Begitu hibur Gara dalam hatinya.
Tanpa terasa waktu berlalu sangat cepat. Hari berganti hari, minggu dan bulan. Sudah lima bulang Gara belum juga ada tanda-tanda kehidupan atau hilang tanpa jejak. Selama itu pula nomer ponselnya tidak bisa dihubungi. Rana juga merasa kehilangan. Selama dirinya mengenal Gara dia tidak pernah melihat tingkah aneh seperti saat ini. Cerahnya udara pagi tetap mengantarkan jejak-jejak kenangan bersama Gara. Malam itu. Ah semuanya. Bersama teman-temannya yang lain. Gading and the genk.
Whuuuuussssss. Rana tersadar oleh angin yang menyusup masuk lewat jendela kamar rumahnya. Memandang ke jendela. Hari ini hari Kamis Libur. Sengaja Rana tukeran shift bersama teman kerjanya karena ingin merasakan libur di hari kamis. Entah mengapa dirinya ingin libur di hari ini, padahal jatahnya off hari Rabu lalu. Santai itulah yang Rana lakukan. Saatnya memanjakan diri. Santai di istana kecilnya.
“Pos pos” sebuah suara asing mampir ke telinganya. Matanya melongok ke arah luar jendela. Ada Pak Pos. Hmmm kiriman dari siapa ya? Diringkan langkahnya menuju teras rumah.
“Neng ada Pos buat Neng Rana”
“Ya saya sendiri Pak, Dari siapa Pak?”
“Hmmmm kayaknya dari pacar Eneng kali ya atau dari tukang kebunnya? Bapak kan tidak tahu hehe,” ucapnya jujur sambil berusaha bercanda mencairkan suasana. Lucu juga Pak Pos, batin Rana.
“Oh iya ya Pak. Makasih Pak, nggak minum dulu Pak. Ngopi-ngopi gituh,” ajaknya ramah.
“Aduh Neng meuni udah cantik baik lagi, pasti Eneng banyak temannya. Haturnuhun Neng saya mau keliling lagi, takut ujan nanti motor butut Bapak mogok lagi. Mari Neng,”
“Oh iya Pak, makasih. Hati-hati pak,” Langkah kakinya berjalan menuju ke kamarnya. Suasana rumah sepi karena seisi rumah sedang bertandang ke rumah saudaranya.
Tubuhnya di sandarkan di dinding tempat tidur. Perlahan tangannya merobek sampul surat berwarna biru. Warna kesukaannya. Dua lembar kertas. Satu berukuran sedang dan yang satunya mungil kecil seiprit. Tapi disitulah jawaban hatinya kelak akan terjawab. Lembar pertama berisi tumpahan rasa dari si pengirim. Menanyakan kabar ini dan itu. Berharap ada tanda-tanda siapa gerangan penulis itu. Nihil. Tidak ada nama pengirimnya. Lembar kedua berisi secuil kata. Puisi.
BUAT KAMU
Satu titik bintang
Menemani dalam bayang
Satu ranting retak terinjak
Tapi petikan asa
Tetap ada bersamamu
Lembar kedua pun masih tidak ada tanda atau coretan tak berbentuk semacam paraf. Ah mungkin ini salah kirim. Begitu pikirnya. Hmmmm dari siapa ya? Aku musti tanya sama Gading ah nanti malam. Ucapnya kembali dalam hati sebelum akhirnya suara cempreng mengejutkan.
“Ciyeee yang dapat surat cinta. dari siapa Na?” tanya Vivi teman karibnya yang ternyata diam-diam mengintip di jendela karena ketukan pintunya tidak mendapat respon.
“Nggak tau nih nggak ada nama si pengirimnya,” sambil menyahut langkahnya buru-buru diayunkan keluar rumah menemui Vivi.
“Oh ya isinya apaan?” tanyanya penasaran.
“Nih baca ajah. Lagian nggak ada rahasia kok, umum special buat kamu hehhehee,”
“Wow so swiiittt. Tapi Na di sini stempelnya masih area Jakarta nih. Tuh malah ini kan deket kantor posnya. Di kirim hari ini langsung nyampe busyeeeet ajippp. Dari penggemar elo kali?”
“Ah sok tau loe,”
“Yeee dibilangin. Ya sudah terus surat ini mau di gimanain?”
“Itu diye gue juga bingung. Gue mau tanya sama Gading kali aja dia tau. Atau nggak sama siapa kek,”
“Buat apa elo tanya-tanya orang malu-maluin aja.” sebuah suara asing yang kedua mampir lagi di telinga Rana. Yang pertama tadi suara tukang pos lalu sekarang siapa? Vivi bukan dia saja terkejut yang asyik duduk di teras bersama Rana. Mereka tidak menyadari sedari tadi ada yang mendengarkan pembicaraannya. Rana pelan mendekati si pemilik suara.
“Maaf anda siapa ya?”
“Hmmm siapa aku, kamu nggak perlu tau. Tapi yang jelas aku tau siapa kalian berdua,” ujarnya sedikit keki ketika menyebutkan kata aku-kamu. Bukan kebiasaannya yang ber-gue-gue-elo-elo.
“Hah,” kali ini bukan hanya Rana yang bibirnya melongo dan matanya membulat. Kaget plus penasaran.
“Udah nggak usah kaget gitu kali, biasa aja,” ujar pemuda itu seolah melihat mimik lucu wajah dua cewek di belakangnya.
“Tapi kamu itu siapa sih? Aku samperin menghindar emang nggak malu apa ngomong adu punggung?” ucap Rana kesal dan tanpa sadar ikut-ikutan ber-aku-kamu. Aneh.
“Busyet dah Ran, jutek amat ama sohib. hahahaa apa kabar bestfrend?” ucap pemuda itu dan berbalik merentangkan kedua tangannya.
“Garaaaaa, akhirnya elo balik lagi,” jerit Rana histeris
“Ya ampuuunnn Garaaaa, kemana aja loe?” ucap Vivi tak kalah kagetnya. Mengatur nafas sejenak dan melanjutkan kata-katanya.
“Hmmm tuh Rana hampir jadi mayat hidup nungguin elo. Ampe jamuran tuh badan, hehehe. Ya udah gue balik aja deh biar kalian reuniannya lebih afdol. Kalo gitu gue cabut dulu yah,” Rana dan Gara hanya tersenyum mengangguk mengantarkan punggung Vivi masuk ke dalam rumahnya yang bersebelahan dengan rumah Rana.
Hari kamis itu terasa semakin indah. Bahkan kota yang hampir tiap hari di guyur hujan kali ini absen. Malah cerah. Secerah hati Rana. Dan hati Gara?
Tanpa ba-bi-bu lagi akhirnya keduanya bercerita tentang kejadian malam itu.
Gara ternyata pingsan dan diketemukan oleh pemulung yang membawa gerobak. Pemulung itu membawa Gara ke rumah gubuknya. Gara pun pulih. Tapi Gara harus menemani Pak Udin pulang kampung karena keluarganya tertimpa gempa bumi. Di Tasikmalaya. Yah demi membalas budi Gara pun ikut ke Tasik. Karena terburu-buru dirinya tak sempat berpamitan pada teman-teman jalanannya. Termasuk pada Rana. Ponsel yang dimilikinya entah di mana. Mungkin terjatuh ketika razia itu.
Keesokan harinya. Gara kembali mengejutkan Gading. Dengan mengirimkan sebuah surat yang mengabarkan kematian dirinya (sssttt ini cuma akal-akalannya Gara pada Gading). Namun pada keesokan malam Rana dan gara menemuinya dirumahnya. Gading setengah mati bertemu Gara di malam itu. Begitu juga Rana (ssssttt ini juga skenario Rana). Gading hampir lari ketakutan melihat Gara hidup. Wajahnya putih. Pucat. Tapi Gara dan Rana berhasil mencegah sehingga Gading tak sampai lari beneran. Gara dan Rana pun terus berlomba menceritakan semuanya. Ketiganya tertawa lepas, bebas dan riang.
Bintang bertabur di langit. Angin malam terasa halus menyeka pipi ketiganya. Malam itu Gara pun kembali menyatakan cintanya pada Rana. Tanpa pikir lagi Rana pun menerima cintanya. Duuuhhh akhirnya cinta itu pun datang ke relung hati Rana. Akhirnya cinta itu pun bertaut satu sama lain. Gading hanya nyengir kuda. Cemburu? Tidak. Gading adalah sahabat baik mereka. Malam itu terasa lebih indah dari malam-malam sebelumnya.
Meski dunia hitam menghampiri anak jalanan.
Para penghuni trotoar pun berhak mencintai dan dicintai.
Karena cinta itu soal hati.
Cinta tak memandang apapun, dimanapun, kapanpun dan siapapun.
Jangan pernah menyalahkan cinta. Jangan pula terlalau erat mengenggam cinta.
Biarkan cinta itu memiliki ruang sendiri.
Memiliki nafas indah dalam sanubari.
Special cerita untukmu sang musisi jalanan yang menemukan cinta sejati lewat suara gitarmu
Gitar embun yang menemani dentang syair lagu cinta

1 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...